Senin, 10 Maret 2014



“Aku kangen kamu, sayang”, bisiknya. Aku hanya terdiam, aku jenuh dengan Laras. Rasa bosanku menyeruak semakin dalam dan sangat menyiksa batinku. 2 tahun berpacaran dengan Laras tapi semakin lama perasaanku mulai hilang. Yang tersisa hanyalah gumpalan bosan yang melata. “Sayang…”, rayunya lagi sambil tebar senyuman. Aku hanya tersenyum kecil lalu menggandeng lengannya dan mengajaknya pulang. Aku benar-benar merasa bersalah padanya, tapi aku harus bagaimana lagi? aku terlanjur bosan dengannya. Kuantarkan dia pulang dengan sepeda motor bututku ini, dia hanya membisu. Sepertinya dia sangat mencintaiku dan tak sanggup memutuskan hubungan kami meskipun aku bersikap dingin padanya. Sesampainya di rumah aku langsung bergegas pergi, dia terlihat bingung dan merasa sedih. Terlihat dari kejauhan dia mengusap air matanya sendiri, oh Laras sebenarnya aku tak tega melihatmu bersedih. Aku pun berlalu dari rumahnya agar tak lama-lama menyaksikan kesedihannya.
Keesokaan harinya di sekolah dia menghampiriku ketika aku telah selesai bermain basket. Seperti biasa dia membawakanku roti dan sebotol minuman dingin. Dia memang tak pelit, dia selalu mengerti dan memenuhi segala apa yang aku butuhkan. Tapi entah kenapa perasaan cintaku tertutup oleh kemonotonan cara berpacaran kami. “Laras, hari ini kamu pulang sendiri ya? Aku ada acara sama temen tim basket nih, nggak papa kan?”, jelasku padanya. Laras hanya mengangguk dan tersenyum lembut, dia tak pernah menuntut apapun dariku. Meskipun aku sering menyakitinya, tapi dia selalu berusaha membahagiakanku.
Laras pun berlalu dari hadapanku, dia bergegas mengambil tasnya di kelas lalu pulang naik angkot sendirian. Aku sebenarnya kasihan tapi aku penasaran dengan cewek yang ada di tim basket SMA seberang. Namanya Rena, dia sangat s*ksi dan jago main basket. Akhir-akhir ini kami sering jalan bareng di luar pengetahuan Laras. Setelah aku mengenal Rena, hidupku lebih semangat dan bergairah. Nggak seperti Laras yang membosankan, ya meskipun secara face lebih cantik Laras. Tapi Rena s*ksi banget coy!.
Sore ini aku mengajaknya pergi jalan, kebetulan malam ini malam minggu. Jadi aku cuti dulu ngapelin Larasnya hahaha. Si Rena malam ini s*ksi banget coy, dia memakai hot pants jeans sama kaos lengan panjang yang agak ketat. Kubawa dia dengan motor ninjaku, dia hanya diam dan melingkarkan lengannya di perutku. Iya kebiasaanku pergi sama Laras membawa motor butut, sedangkan sama Rena aku memakai motor ninjaku dan Laras tak tahu aku tajir tapi hebatnya dia masih mau menerimaku.
Kuberhentikan motorku di sebuah taman kota, lalu kami mencari tempat duduk yang nyaman dan sepi dari keramaian. “Revan, kamu nggak ngapelin pacar kamu?”, tanya Rena mengagetkanku. “Oh, ehhh aku… aku nggak punya pacar Ren hehe kamu sih nggak jalan sama pacar kamu?”, jawabku sedikit gugup. “Aku juga nggak punya pacar Van”, katanya. “Beneran Ren?”, tanyaku lagi. “Iya Van, kenapa?”, jawabnya lembut. “Mau nggak jadi pacarku? aku enjoy sama kamu Ren”, jawabku tanpa pikir panjang. “Emmm… gimana ya Van..”, jawabnya lirih lalu terdiam dan menunuduk. “Kenapa Ren? kamu nggak mau ya? nggak papa kok aku nggak maksa”, jawabku sambil mengendalikan perasaanku yang risau ditolak Rena. “Emmmuaach”, tiba-tiba dia menciumku dan tersenyum genit. “Aku mau banget kok Van”, jawabnya sambil bergelayut manja di leherku. Hatiku lega rasanya mendengar jawabannya yang sangat menggoda. Kami pun melanjutkan jalan-jalan mengelilingi kota kecil itu sampai larut malam.
Hari demi hari aku menjalani cinta segitiga ini, jujur aku tak tega dengan Laras yang masih setia menerimaku meskipun ku tak mempedulikannya lagi. Yang aku pentingkan saat ini adalah Rena kekasihku yang s*ksi. Lamunanku buyar setelah Laras menghampiriku di kantin, “Ada apa Larasku?”, jawabku sok romantis. “Emm, aku.. aku mau tanya ke kamu sayang. Boleh?”, tanyanya lembut. “Iya silahkan cintaku”, jawabku lembut. “Jawab jujur ya, apa bener kamu udah punya cewek lagi sayang?”, tanyanya membuatku gelagapan. “Enggg… enggalah sayang. Pacarku cuma kamu kok, lagian kan 2 minggu lagi hari jadian kita yang ke 36 bulan sayang. Udah ah nggak boleh negative thinking sama aku yah”, rayuku. “Oh ya udah sayang, maaf ya udah negative thinking”, jawabnya sambil berlalu dari hadapanku karena bel masuk telah berbunyi.

“Van..”, kata Mamah lembut. “Iya Mah kenapa?”, jawabku. “Mamah mau bilang sama kamu Nak”, ujar Mamaku. “Iya Mah ada apa sih?”, jawabku ingin tahu. “Nak, terpaksa Mamah sama Papah menjual motor ninjamu Nak. Papahmu dalam kesulitan uang, jadi terpaksa menjual motormu Nak, lagian kan kamu masih ada motor satu lagi. Mamah harap kamu mengerti ya Nak, nanti kalau bisnis Papah udah membaik lagi, motormu akan diganti Nak”, jelas Mamah sambil menitikan air mata. Aku hanya bisa terdiam, hatiku hancur melihat Mamah menangis, kupeluk dia kuusapkan air matanya sampai dia tenang kembali.

“Revan, ini motor siapa? kok butut banget?”, tanya Rena ketika aku menjemputnya. “Motorku Ren, yang ninja dijual karena Papahku lagi kena musibah”, jelasku. Rena terlihat kesal dan selama memboncengku dia hanya terdiam tanpa memeluk mesra punggungku lagi. Setelah sampai di depan rumah Rena, dia hanya diam lalu berlalu begitu saja dari hadapanku. Aku geram dengan sikapnya yang meremehkanku, ternyata dia sebenarnya begitu. Mencintai motorku bukan hatiku, ah Laras maafkan aku telah mengkhianatimu demi cewek matre seperti Rena.
Kutarik gas motorku sekencang mungkin, ku melaju menuju rumah Laras. Hatiku kacau, aku menyesal telah menyia-nyiakannya. Hari ini adalah hari jadian aku dengan Laras yang ke 3 tahun. Pasti sekarang dia sedang menungguku di tempat biasa, mana hari ini hujan lebat lagi. Kasihan Laras dia pasti kedinginan, kutancapkan gasku lebih kencang dan berlomba dengan derasnya hujan. Sementara itu ponselku bergetar, kubuka sms dari Rena yang memutuskanku. Hatiku semakin kacau, fikiranku hanya tertuju kepada Laras pacarku yang setia.
Setelah sampai di danau tempat pertama kali kita bertemu, bergegas ku mencarinya. Tapi dia dimana? dia nggak mungkin nggak datang. Dia nggak akan pernah lupa sama aku, tapi nyatanya dia nggak ada. “Laraaasss!!!”, teriakku di bawah naungan derasnya hujan. Bersimpuh aku di tepi danau bening itu, aku sangat menyesal aku sangat menyesal dengan kebodohanku. Lalu mataku tertuju pada sebuah perahu, sebuah perahu kecil yang terdampar di tengah danau. Letaknya tidak terlalu ke tengah, jadi masih cukup dangkal hanya sekitar 2 meter kurang. Tapi siapa yang medayung perahu itu? tapi itu kan? itu kan? Ya Tuhan Laras!!! tak peduli seberapa dinginnya air danau itu, kujeburkan tubuhku menyelam ke dasar danau, menuju perahu kecil itu. Kucari kekasihku, kucari Laras. Tapi tak kujumpai ia disana. Perahunya kosong, tapi ada sebuah sepatu tosca dan sepertinya… sepertinya aku mengenalnya. “Larasss!!!”,teriakku terisak-isak. Dimana dia, dimana Larasku? Dimana Tuhan?!!!
Kucari dia di sekitar danau itu tapi dia tak kutemukan, lalu dimana dia? aku mulai putus asa dan sangat putus asa. “Nak, ada yang bisa Bapak bantu?” tanya Bapak yang memakai baju tim sar kepadaku. “Saya Revan, Pak. Saya sedang mencari Laras disini”, jawabku sambil terisak. “Oh, yang cantik dan rambutnya panjang sampai punggung kan?”, jawab Bapak itu. “Iya, Pak. Bapak melihatnya?”, tanyaku sedikit lega. “Iya, Nak. Tadi dia tenggelam di danau ini, tadi Bapak dan anggota tim sar menolongnya. Dia tadi sempat siuman dari pingsannya, katanya dia hendak mencari kalungnya yang jatuh di dasar danau Nak”, jelas Bapak itu. “Lalu dia sekarang dimana Pak?”, tanyaku tak sabar. “Tadi sudah dibawa pulang Nak,” jelasnya lagi. “Makasih ya Pak atas informasinya, saya akan menyelam dan mencari kalungnya yang jatuh di danau. Setelah itu saya akan ke rumahnya”, jawabku sembari terjun dan menyelam mencari kalung itu. Kalung itu adalah hadiah ulang tahunnya dariku, pasti dia khawatir sekali kalau aku marah, makanya dia nekat mencarinya padahal dia tidak bisa berenang. Setelah aku mendapatkan kalung tersebut kemudian aku bergegas menuju rumahnya. Aku tak sabar ingin memberikan kalung itu, dia pasti senang sekali.
Setelah sampai di rumahnya, hanya ibunya yang menyambutku. Tersirat dari wajah sang ibu yang berduka, air matanya bercucuran. “Ibu…”, lirihku. “Ini Nak..” jawabnya lembut sembari memberikan sepucuk surat dari Laras. Kubaca satu persatu pesannya:
“sayang, selamat hari anniversary yang ke 3 yah. Jaga diri kamu baik-baik… oya aku udah tahu tentang kalian, tentangmu dan Rena. Aku nggak papa kok sayang, disini aku baik-baik aja. Tadi kalung pemberianmu jatuh ke dasar danau, maafkan aku yang ceroboh. Maafkan aku tak bisa menjaga kalung itu seperti aku yang tak juga bisa menjaga hatimu sehingga tenggelam dalam pelukan wanita lain. Aku minta maaf sayang, aku salah… aku telah berusaha mencari kalung itu tapi aku tak mampu sayang. Tiba-tiba saja nafasku sulit untuk kuhembuskan padahal kalung itu ada di depan mataku akan tetapi aku gagal meraihnya. Dan semakin lama pandanganku semakin samar-samar dan mulai gelap sayang, aku takut sekali. Disana aku tak bisa melihat apa-apa, lalu entah kenapa.. atau ini semua keajaiban Tuhan sayang.. aku membuka mataku di ruangan yang berbau obat itu sayang.. ibu bilang itu rumah sakit sayang.. aku mencarimu disisi ruangan itu tapi kau tak juga kutemukan, aku hanya bisa menangis dan menulis surat ini. Jaga dirimu baik-baik sayang, jaga Rena sayang.. i love you sayang…”
“Bu.. dimana Laras bu?”, jawabku sambil terisak-isak. “Laaa…raaass… huhuhu Laraaass.. Laras sudah dimakamkan nak”, jelasnya. “Ibu…”, aku memeluknya, memeluk ibunya dan kami terisak bersama. Ah, Laras hatimu begitu mulia, harusnya aku membahagiakanmu dahulu sebelum kamu pergi. Harusnya kamu biarkan kalung itu tenggelam saja.. Laraaasss…!!! Ya Tuhan Larasku
the end
 sumber : http://cerpenmu.com/cerpen-penyesalan/cintaku-tenggelam-dalam-pelukan-wanita-lain.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar